Monday 22 December 2014

SULTAN ABDULLAH MA'AYAT SHAH - 1615-1623( MAS & KUPANG JOHOR)



Sultan Abdullah Ma'ayat Shah was the 7th Sultan of Johor who reigned from 1615 to 1623. Before he became sultan of Johor, Abdullah Ma'ayat Shah was also known as Raja Bongsu, Raja Seberang or Raja di Ilir. According to the testimony of Dutch Admiral Cornelis Matelief de Jonge Raja Bongsu was one of four surviving sons of Raja Ali bin Abdul Jalil (alias Raja Omar) of Johor. The other remaining male (half-) siblings were described by Admiral Matelief as Raja Siak, Raja Laut, and Alauddin Riayat Shah III.[1] The latter ruled as the 6th sultan of Johor between the death of his father Raja Ali Jalla in 1597 and the Acehnese attack on Johor in 1613. In 1603 Raja Bongsu was instrumental in forging the early diplomatic relations with the Dutch by lending assistance to Admiral Jacob van Heemskerk on 25 February 1603 in attacking and plundering the Portuguese carrack, the Santa Catarina, in the Johor River estuary off present-day Singapore.[2] He was also responsible for sending one of the first diplomatic missions of a Malay ruler to the Dutch Republic in the same year. Headed by Megat Mansur, the Johor embassy sailed to Europe on the ships of Admiral van Heemskerk in 1603. Megat Mansur did not survive the voyage, but other members of the Johor embassy did and returned with the fleet under the command of Admiral Cornelis Matelief de Jonge in 1606.[3] In that year, Raja Bongsu formally ratified two treaties with the Dutch (dated 17 May and 23 September 1606) and signed himself as the co-ruler of Johor.[4] He also lent active assistance to Admiral Matelief during his seaborne attack on Portuguese Melaka in or around May 1606. In early 1609 Raja Bongsu received Dutch Admiral Pieter Willemsz Verhoeff at Batu Sawar. On this occasion one of the German officers serving in Verhoeff's fleet, one Johann Verken, described the physical appearance of Raja Bongsu. He wrote that the Raja was "a young man in his 30s ... In his appearance and body a well-proportioned person, rather tall, articulate, and fair-skinned both on his body and on his face." [5] After the Portuguese had imposed an economically crippling blockade on the Johor River for much of the year 1609, Raja Bongsu was necessitated (through the machinations of his half-brother Raja Siak) to sign a peace treaty with the Portuguese Melaka in October 1610. Described as his personal "fiefdom" by Admiral Matelieff, Raja Bongsu controlled the settlement of Kota Seberang which was located almost straight across the Johor River from the royal administrative center and capital Batu Sawar. He is also said to have controlled areas around the Sambas River on the island of Borneo. In 1613, Raja Bongsu was one of the prisoners taken back to Aceh after the invasion of Johor by sultan Iskandar Muda. He was married to one of Iskandar's sisters, and returned to Johor as the new sultan. Raja Bongsu was subsequently enthroned as Abdullah Ma'ayat Shah of Johor. His half-brother Alauddin Riayat Shah III who had fallen from power at the time of Iskandar Muda's offensive on Johor in 1613 had fled to Lingga and probably died there in or around 1615. In 1618, Abdullah Ma'ayat Shah moved to Lingga and gained the support of Orang Laut and the Dutch to wage a war against Aceh. He later divorced his wife who was also a sister of Iskandar Muda, a move that further angered the sultan. He spent most of his reign as a wanderer, pursued from town to town and island to island by the Acehnese. He died at Tambelan archipelago in March 1623

SULTAN ABDUL JALIL 11 RARE VARIETY- KUPANG JOHOR

Friday 19 December 2014

KESULTANAN MAKASSAR- KUPANG



Setelah menjadi sebuah Kesultanan Makassar, kemudian mereka berusaha untuk mengislamkan berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan.[1] Upaya yang dilakukan ini mendapatkan perlawanan dari Kerajaan Bone pada tahun 1528 dan Bone membentuk persekutuan dengan kerajaan-kerajaan kecil lainnya seperti Kerajaan Wajo dan Kerajaan Soppeng.[1] Kemudian persekutuan itu disebut dengan Persekutuan Tellum Pocco (Tiga Kekuasaan).[1] Namun satu persatu kerajaan tersebut berhasil ditaklukkan oleh Kesultanan Makassar.[1] Selain menakhlukkan kerajaan tetangga, mereka memperluas pengaruh hingga ke bagian timur kepulauan Nusa tenggara.[1] Kesultanan Makassar (Gowa-Tallo) sempat menjalin kerja sama dengan kerajaan Islam lainnya, khususnya Kesultanan Mataram di Jawa. [5] Hingga kini, Islam menjadi agama mayoritas di wilayah Sulawesi Selatan. [5] Penguasa terbesar dan terakhir dari Kesultanan Makassar adalah Daeng Mattawang yang lebih dikenal dengan nama Sultan Hasannudin (1653-1669). [1] Di bawah kepemimpinan Hasannudin ini Makassar berkembang menjadi satu kekuatan besar di kawasan timur Nusantara.[1] Sultan Hasannudi berhasil memperluas pengaruh Kerajaan Makassar sampai ke Matos, Bulukamba, Mondar, Sulawesi Utara, Luwu, Butan, Selayar, Sumbawa, dan Lombok.[3] Sultan Hasanuddin juga berhasil mengembangkan pelabuhannya dan menjadi bandar transito di Indonesia bagian timur pada waktu itu.[3] Hasanuddin mendapat julukan Ayam Jantan dari Timur.[3] Karena keberaniannya dan semangat perjuangannya, Makassar menjadi kerajaan besar dan berpengaruh terhadap kerajaan di sekitarnya.[3] Balai kota Makassar. Dalam kurun waktu yang cukup lama, Kesultanan Makassar (Gowa-Tallo) terlibat persaingan dengan Kerajaan Bone.[6] Persaingan antara dua kekuatan tersebut pada akhirnya melibatkan campur tangan dari Belanda dalam sebuah peperangan yang dinamakan Perang Makassar (1660-1669).[6] Belanda yang mempunyai tujuan tertentu yaitu, berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah di pelabuhan Makassar memanfaatkan situasi dengan berpihak pada Kerajaan Bone, sebagai musuh Kesultanan Makassar.[6] Kemudian dalam peperangan Makassar ini Kesultanan Makassar dipimpin langsung oleh Sultan Hasannudin akan tetapi Hasannudin tidak bisa mematahkan kekuatan Kerajaan Bone yang dibantu oleh kekuatan Belanda yang berambisi menguasai Makassar.[6] Kemudian Hasannudin dipaksa oleh VOC untuk menandatangai perjanjian Bungaya (18 November 1667) sebagai tanda takluk kepada VOC.[1]

PATANI-KELANTAN- SS50

MATA WANG EMAS PATANI-KELANTAN - R4


Kelantan, dari semasa ke semasa, dikunjungi para pedagang dari jauh dan dekat; dari Kepulauan Melayu, Siam, Kemboja, Campa, China, India, Parsi dan Arab. Bukti bahawa Kelantan itu berkuasa luas dan menjadi pusat dagangan ialah wan dinar yang terjumpa di kawasan kota Kubang Labu. Pada dinar itu tertera kata-kata dan angka Arab; ” al Julus Kelantan″ dan di sebelahnya; “Al-Mutawakkil Allallah” Dalam Abad 17 pula Ibnu Batuta Seorang Pengembara Arab telah singgah di satu tempat yang bernama “Kilu Krai” (Kuala Kerai di Ulu Kelantan sekarang) dan bertemu dengan seorang raja perempuan yang bernama Urduja (Saad Shukri 1971). Baginda rupawan gagah perkasa dan beragama islam. dikatakan juga boleh bertutur dalam bahasa Turki

KUPANG KEDAH- SULTAN SULAIMAN (UNLISTED VARIETY)



Sultan Sulaiman Shah II Sulaiman Shah II Sultan Kedah ke-12 Tempoh pemerintahan 1602–1625 Didahului oleh Sultan Mudzaffar Shah III Diikuti oleh Sultan Rijaluddin Muhammad Shah Pasangan 1) Che' Ratnamala 2) Tidak diketahui Putera-puteri Sultan Rijaluddin Muhammad Shah Keluarga diraja Kedah Ayahanda Sultan Mudzaffar Shah II Bonda Che' Tempawan Sultan Sulaiman Shah II ibni al-Marhum Sultan Muzaffar Shah adalah Sultan Kedah ke-12. Baginda memerintah dari 1602 hingga 1625. Beliau tewas kepada Sultan Iskandar Muda dari Aceh pada 1619.[1] Baginda berkahwin dengan Che Ranamala, yang memberikannya seorang putera yang kemudian menjadi Sultan Rijaluddin Muhammad Shah. Baginda juga memiliki tiga orang puteri.